Seperti Bijaksana
Sepintas tampak bijak orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak mau bermusuhan dengan siapapun dengan alasan apapun. Padahal semestinya bijak itu ketika seseorang bisa menempatkan diri secara proporsional. Termasuk cara berinteraksi dengan kawan maupun lawan. Hanya orang plin plan yang merasa tidak memiliki musuh. Tak ada seorangpun yang memiliki keyakinan kecuali dia memiliki kawan dan dalam waktu yang bersamaan pasti ia juga memiliki lawan. Tak terkecuali para Nabi yang merupakan insan paling bijaksana di kalangan umat manusia. Mereka juga memiliki musuh setan dari golongan jin dan manusia. Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin.” (QS al-An’am 112).
Jika tidak ada istilah lawan dalam pandangan para Nabi, tentu tak ada perseteruan antara Nabi Ibrahim dengan Namrud, antara Musa dengan Fir’aun, antara Nabi Luth dengan kaum sodom.
Andaikan memerangi musuh kebenaran bukan bagian dari ajaran Islam, tentu tidak ada sejarah perang antara Nabi shallallahu alaihi melawan orang-orang musyrikin. Tak ada pula bab al-Maghazi (riwayat tentang peperangan) dalam kitab-kitab hadits. Maka apakah para Nabi kurang bijak? Apakah Anda lebih bijak daripada mereka?
Baca juga : Salah Duga
Sekilas kelihatan arif ketika seseorang bersikap netral tak memihak ketika ada perseteruan antara yang haq dan yang bathil. Sebagian merasa telah bersikap dewasa dengan sikap itu, karena merasa bisa memaklumi alasan kedua pihak yang berseteru. Maka ketika ada sebagian kaum muslimin yang menampakkan ghirahnya, atau menampakkan pembelaannya saat agamanya dinista, olehnya akan dianggap sebagai orang yang bermental kekanak-kanakan. Semestinya orang yang arif itu adalah orang yang mengerti mana batas antara kebenaran dan kebathilan. Ia juga memiliki sikap yang jelas terhadap keduanya. Sunnatullah yang berlaku adalah terpilahnya antara ahlul haq dan ahlul bathil setelah tersampaikannya dakwah. Setiap ada bimbingan nash yang merepresentasikan keputusan Allah dan rasul-Nya, selalu ada dua golongan, “Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan al-Kitab (kepada mereka) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. alBayyinah: 4)
Jika ada golongan ketiga, maka mereka adalah golongan munafik yang ‘mudzabdzab’, plin-plan seperti yang dikabarkan oleh Allah,
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir), tidak masuk kepada golongan ini dan tidak masuk kepada golongan yang itu.” (QS anNisa’ 142)
Inginnya memilih netral untuk mengambil hati semua pihak, padahal itu semata anganangan sebagaimana dikatakan oleh Imam asySyafi’I, “ridha an-naas ghaayatun laa tudrak”, keridhaan semua orang adalah angan-angan yang takkan tercapai. Semoga Allah tampakkan kepada kita yang benar tampak benar lalu kita dikuatkan untuk menjalankannya. Dan agar yang bathil tampak bathil, lalu Allah mudahkan kita untuk meninggalkannya. Aamiin.