Siapa Bersyukur Takkan Tersungkur
Saba’ adalah sebuah negeri yang semula disebut oleh Allah dengan “baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur.” Negeri yang dianugerahi rasa aman dan makmur sewaktu penduduknya bersyukur. Tak hanya aman dari gangguan sesama manusia, namun juga dari segala jenis hewan yang berbahaya. Imam asy-Syaukani tatkala menafsirkan ayat,
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka..” (QS Saba’ 15)
Beliau menukil dari Abdurrahman bin Zaid yang berkata, “Maksud ayat (tanda) bagi penduduk Saba’ di tempat tinggal mereka adalah bahwa sesungguhnya mereka tidak mengenal nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, ular maupun hewan-hewan yang membahayakan.”
Makmur, Selagi Manusia Bersyukur
Tentang kemakmuran yang dirasakan penduduk Saba’, Allah anugerahkan kepada mereka dua kebun yang menghasilkan buah-buahan dengan hasil terbaik. Digambarkan oleh Qatadah rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsier dalam tafsirnya tentang,
“Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (QS Saba’ 15)
Beliau mengatakan, “Seorang wanita cukup berjalan di bawah pepohonan (kebunnya) sembari meletakkan keranjang buahnya di atas kepalanya, maka buah-buahan akan berguburan dari pohon dan memenuhi keranjang buahnya, tanpa harus memanjat atau memetiknya, saking banyak dan matangnya buah-buahan.”
Apa yang Allah kehendaki dengan semua nikmat itu? Yakni supaya mereka bersyukur. Sebagaimana firman-Nya,
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.” (QS Saba’ 15)
Karena dengan syukur, maka nikmat akan terikat dan bahkan akan bertambah banyak. Akan tetapi ketika syukur diganti kufur, taat diganti maksiat, maka nikmat akan berubah menjadi niqmat (bencana). Dan ini pula yang terjadi atas penduduk Saba’. Allah berfirman,
“Lalu mereka berpaling…” (QS Saba’ 16)
Yakni berpaling dari syukur. Maka bergantilah berbagai nikmat menjadi musibah, wal ‘iyadzu billah. Hujan deras dan berturut-turut menyebabkan banjir bandang yang memakan banyak korban; manusia, ternak dan juga tanaman. Bahkan tanaman yang tadinya hebat dalam hal kualitas dan kuantitas berubah menjadi tanaman yang hampir tidak ada faedahnya kecuali sedikit.
Karena itulah, tidak ada pengikat nikmat paling kuat dan penambah nikmat paling cepat selain dari syukur, sebagaimana tidak ada yang mempercepat lenyapnya nikmst selain dari kufur terhadap nikmat. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni’mat-ni’mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an-Naml 112)
Di Dunia Takkan Tersungkur
Ada ungkapan menarik yang dikatakan seorang salaf,
النَّعِمُ إِذاَ شُكِرَتْ قُرَّتْ وَإِذَا كُفِرَت فَرَّتْ
“Nikmat itu, ketika disyukuri akan menyenangkan hati, tapi jika dikufuri akan lari.”
Satu sisi bahwa rasa syukur akan mendatangkan kebahagiaan, karena semakin banyak seseorang mengingat nikmat yang didapat, sebanyak itu pula kebahagiaan yang dirasakan. Kebahagiaan itu bukan seberapa banyak nikmat yang didapat, tapi seberapa banyak nikmat yang diingat. Seseorang tetap menderita meski nikmat melimpah, jika yang diingatnya adalah ambisi terhadap dunia yang belum didapat, sementara ia lupakan apa yang berada dalam genggaman tangannya yang penuh nikmat.
Hamba yang bersyukur hatinya dominan oleh kebahagiaan. Karena ia mengenali dan mengakui dan merasakan tetes nikmat demi nikmat yang Allah curahkan. Baginya, nikmat itu tak sebatas pada makanan, tempat tinggal maupun kemewahan. Nikmat yang bersifat duniawi tak terhitung cacahnya, belum lagi nikmat berupa kemudahan untuk menjalankan ketaatan. Makin tinggi kemampuan seseorang mendeteksi setia nikmat, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya, dan semakin cerdaslah ia. Begitupula sebaliknya. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tidak melihat nikmat selain pada makanan, muniman dan pakaian, maka sungguh dangkal akalnya dan banyak deritanya.”
Faedah syukur akan lebih besar lagi manfaatnya ketika di akhirat. Ketika seseorang mengucapkan tahmid sebagai ungkapan syukur kepada Allah, maka ucapan ini akan memperberat timbangan di akhirat. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ
“Dan ucapan alhamdulillah itu memenuhi timbangan.” (HR Muslim)
Bahkan faedah dari ucapan alhamdulillah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, “Andaikan seorang hamba diberi anugerah berupa dunia dan seisinya, lalu dia ucapkan ‘Alhamdulillah’, maka ilham dari Allah atasnya untuk bisa mengucapkan ‘Alhamdulillah’ itu lebih agung dan lebih berharga daripada anugerah berupa dunia dan seisinya, karena nikmat dunia itu akan sirna, sedangkan pahala tahmid itu kekal selamanya.”
Takkan Tersiksa di Neraka
Di samping memperberat timbangan yang akan menyelamatkan di akhirat, syukur juga menjadi penghalang dari siksa pada hari Kiamat. Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.“ (An-Nisaa: 147)
Artinya, kalau kalian mau bersyukur dan beriman yang menjadi tujuan kalian diciptakan, maka buat apa Allah menyiksa kalian? Tidak mungkin Allah menyiksa orang yang bersyukur dan beriman. Bisa pula kata “maa” dalam ayat tersebut sebagai “nafiyah” yang bermakna tidak, yakni tidaklah Allah menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman.
Karena syukur secara jawarih (anggota badan) adalah menggunakan anugerah sesuai dengan kehendak Allah, menggunakan nikmat untuk taat. Dan tidak menggunakannya sebagai sarana untuk bermaksiat. Pengakuan dengan hati dan lisan atas nikmat yang telah diberikan Allah belum dikatakan sebagai bentuk syukur kecuali jika anggota badannya menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah. Ibnul Qayyim mendefinisikan syukur dengan ‘tashriifun ni’mah ‘ala muraadi mu’thiiha’, yakni memanfaatkan nikmat sesuai dengan kehendak yang memberinya (Allah). Maka untuk masing-masing jenis nikmat menuntut ada bentuk syukur tersendiri yang kesemuanya terikat dengan kaidah ini.
Seseorang pernah bertanya kepada Abu Hazim, “Bagaimana cara mensyukuri kedua mata?” Beliau menjawab, “Jika keduanya melihat yang baik-baik, Anda membukanya dan jika keduanya melihat yang buruk maka hendaknya Anda menutupinya.” Orang itu bertanya, “Bagaimana mensyukuri telinga?
Baca juga : Syafaat Seorang Sahabat
Beliau menjawab, “Jika keduanya mendengar yang baik-baik maka Anda menjaganya dan jika mendengar yang buruk maka Anda merahasiakannya.” Orang itu bertanya: “Bagaimana mensyukuri kedua tangan?” Beliau menjawab: “Jangan mengambil apa yang bukan menjadi hak keduanya dan janganlah Anda menolak hak Allah yang ada padanya (untuk diberikan orang lain).” Dia bertanya lagi: “Bagaimana mensyukuri perut?” Beliau menjawab, “Hendaknya meletakkan makanan yang halal pada bagian bawah dan ilmu pada bagian atasnya.” Dia bertanya lagi, “Lalu bagaimana mensyukuri farji (kemaluan)?” Beliau menjawab: “Syukurnya adalah seperti yang difirmankan oleh Allah:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mukminun: 7)
Begitulah makna dan konsekuensi syukur, maka bagaimana mungkin Allah akan menyiksa hamba-Nya yang meralisasikan syukur dengan sebenar-benar syukur?
Demikian besar peran syukur dalam menyelamatkan dunia dan akhirat bagi siapapun yang menyandangnya, maka ketika setan begitu getol menggoda manusia dari segala penjuru; dari depan, belakang, samping kanan, samping kiri. Apa yang menjadi target utamanya? Yakni menjauhkan manusia dari syukur. Sebagaimana kesaksiannya disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
“kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). “ (QS al-A’raf 17)
Semoga Allah masukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bersyukur. (Abu Umar Abdillah)
Pingback: Rugi Berat Karena Siasat Jahat - arrisalah