Kadar Pancaran Iman
Meski iman menghidupkan dan menerangi qalbu insan, namun dalam kualitasnya pada masing-masing manusia, ia berderajat dalam capaian. Serupa sinar mentari yang menerangi bumi, kadang ia terasa hangat menyentuh kulit, namun bisa sangat panas menyengat dan membakar. Kadang ia menjadi sumber penerang yang benderang di teriknya siang, namun kadang meredup dalam mendung, atau bahkan gulita dalam gerhana yang gelap.
Faktanya, meski dari sumber panas yang sama, terpancar ke bumi yang sama, namun kadar panas yang sampai bisa menjadi sangat berbeda. Banyak hal yang bisa menjadi penentunya. Dari posisi dan jarak matahari ke bumi, adanya penghalang antara keduanya semisal awan, sampai munculnya bulan penyebab gerhana.
Pun halnya penerimaan iman yang bermula dari kalimat tauhid, beserta efek kejelasan dan energi menggerakkan yang ditimbulkannya. Meski berasal dari kalimat yang sama, kesucian akidah dari syirik, besar kecilnya maksiat yang diperbuat, hingga kebenaran pemahaman tentangnya, menjadi sebab tingkatan hasilnya pada setiap hamba; ilmu, amal, dan akidah. Pada penerimaan mereka akan konsekuensi kalimat tauhid dan kecepatan dalam menjawab seruannya, hingga keyakinan akan akhirat.
BACA JUGA : Memberi Sebelum Diminta
Hingga akhirnya ada iman yang memberi manfaat kedamaian dan keselamatan, namun ada juga yang memberi madharat dan penyesalan. Iman yang tulus suci murni, tidaklah sama dengan yang ternoda dosa dan tercemari syirik, apapun nama dan bentuknya, seberapapun kadar kekotorannya. Hingga, pada pengakuan iman, ada yang tersesat, ada yang selamat. Ada yang memberi manfaat, ada pula yang mendatangkan madharat. Ada yang terpuji, ada juga yang tercela. Ada yang menjadi mulia, namun tak sedikit yang akhirnya terhina.
Maka, penerimaan ‘Laa Ilaaha illallah’ dalam kehidupan meniscayakan pemahaman maknanya secara benar, agar tak salah arah dan langkah. Bahwa ia adalah pernyataan ketundukan akan uluhiyah Allah dan kepasrahan sepenuhnya tanpa selipan keraguan. Kalimat penafian akan berbagai Ilah yang lain, disertai pengitsbatan akan keesaan Sang Maha Tunggal. Kalimat tauhid yang melahirkan loyalitas akan kebaikan dan ahlinya, diiringi anti loyalitas atas berbagai bentuk thoghut yang tercela. Yang wala’ dan bara’ menjadi konsekuensinya.
Pemahaman yang diikuti praktik penghambaan yang tulus ikhlas, dalam ketundukan dan cinta. Yang mencukupkan diri dari sesembahan selain Allah. Aplikasi teknis sebagai pembuktian kejujuran iman dan sarana meraih kebahagiaan sejati. Pelaksanaan ibadah yang menyatukan jarak hati dan akal, ruh dan jasad, juga ilmu dan amal. Maka melaziminya adalah keharusan, dan meninggalkannya adalah kehancuran.
Energi maksimal dari iman juga menuntut minimalisasi unsur pengeruh dan perusaknya. Agar kemurniannya menggerakkan dan sinar terangnya mencerahkan. Dan ia hadir dalam wujud penghindaran akan dosa dan maksiat. Hal yang akan menjaga qalbu hamba tetap bersih dan putih, sebab dosa melahirkan noktah hitam yang menutupi qalbu.
Dan jika ternyata ia telah ada dan bertahta, maka tiada jalan lain selain mengucap istighfar, melakukan taubat nasuha, dan meninggalkannya sebisa mungkin.