Demi Uang Logika Dibuang
Di penghujung Oktober, kita dihebohkan sebuah berita yang hampir menjadi headline di berbagai media masa. Seorang pimpinan padepokan di daerah Probolinggo ditangkap polisi karena diduga menjadi dalang pembunuhan dua santrinya. Tapi bukan itu yang membuat heboh. Oleh pengikutnya, ia disebut bisa menggandakan uang sesuai dengan jumlah mahar yang diberikan. Berita ini semakin membesar ketika seorang ibu bergelar doctor lulusan luar negeri menjadi pengikutnya. Saya melihat sendiri saat ia menggandakan uang, katanya. Ia pun girang. Ini bisa menjadi solusi untuk kemajuan Indonesia. Demi uang logika pun dibuang.
Ia percaya sang idola adalah manusia pilihan tuhan dan ia pun mendengungkan syubhat, “Kalau Allah mampu memindahkan istana Bilqis, maka mudah bagi Allah bila hanya menghadirkan kotak-kotak berisi uang.” Ia menyebutnya sebagai karomah.
Sebelum berita ini tersebar, sudah banyak kejadian serupa meskipun dalam fenomena dan modus yang berbeda. Sebut saja misalnya seorang kyai yang bisa terbang ke Mekah hanya dengan kedipan mata, ada juga seorang yang diyakini shaleh bisa jalan di atas air dan fenomena-fenomena luar bisa yang tidak mungkin dilakukan kebanyakan orang pada umumnya.
Fenomena luar biasa tersebut dianggap karomah bahkan ada yang meyakini hal tersebut adalah mukjizat dari Allah yang maha perkasa karena dilakukan oleh orang-orang berjubah dan sering berzikir. Sehingga mereka melakukan berbagai bentuk penghormatan yang berlebih dan mengalap berkah dari mereka. Ada juga yang beristighotsah, tabaruk dan berbagai peribadatan melenceng lainnya.
Ada suatu kejadian “aneh” terjadi pada sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq. Abdurrahman bin Abu Bakar menuturkan, “Pada Suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq didatangi oleh tiga orang tamu di rumahnya. Lalu Abu Bakar pergi menemui Rasulullah untuk makan malam. Ia baru kembali kerumahnya pada tengah malam. Setibanya dirumah, istrinya bertanya “Apa yang menyebabkan kamu menahan tiga orang tamumu disini?”
“Sudahkah engkau berikan makan malam pada tiga orang tamuku itu?” tanya Abu Bakar pada istrinya kembali.
Istrinya menjawab “Mereka tidak mau makan sebelum engkau datang”
“Demi Allah, sedikitpun aku tidak akan makan” ucap Abu Bakar.
Kemudian Abu Bakar Siddiq menemui tamunya dan berkata “Makanlah hidangan ini.”
“Demi Allah, kami sungguh heran. Setiap kali kami makan sesuap, hidangan itu menjadi bertambah banyak sampai kami semua merasa kekenyangan. Dan hidangan itu bertambah banyak saja dari semula,” jawab seorang tamunya.
Ketika Abu Bakar melihatnya, ia pun melihat hidangan itu sangat banyak. Lalu ia bertanya pada istrinya, “Wahai Istriku, apakah engkau memasak makanan sebanyak ini ?”
“Tidak, Demi Allah ! Sungguh hidangan ini bertambah banyak tiga kali dari semula,” Jawab istrinya menjelaskan. Kemudian Abu Bakar ikut makan dari hidangan itu sambil berkata “Mungkin ini perbuatan setan.” Setelah para tamunya pulang. Abu Bakar membawa hidangan itu kepada Rasulullah.
Esok paginya, hidangan itu kembali seperti semula. Saat itu, kami sedang mempunyai janji dengan suatu kaum. Setelah batas waktunya berlalu, dua belas orang dari kami keluar. Mereka sambil membawa teman-temannya yang banyak. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh mereka datang lagi untuk makan bersama hidangan itu hingga puas.”
Karomah Allah atau Karomah Setan?
Dalam Islam, ada beberapa kejadian luar biasa yang Allah berikan kepada hamba-hambanya yang Shalih berupa mukjizat, adapun mukjizat hanya para Nabi lah yang mendapatkan karunia ini, seperti mukjizat nabi Ibrahim tidak mempan ketika dibakar, Nabi Musa bisa membelah lautan dengan tongkatnya dan tongkat tersebut bisa menjadi ular, Nabi Isa yang dapat bicara ketika masih bayi dan lain sebagainya. Dan ini sudah jelas bahwa hal-hal tersebut adalah Mukjizat dan bisa dipahami oleh semua orang.
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah Berkata, Sesuatu yang diluar kebiasaan itu ada tiga macam: Mu’jizat yang terjadi pada para Rasul dan Nabi, Karamah yang terjadi pada para wali Allah, Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan (At-Tanbihaatus Saniyyah hal.312-313).
Kemudian yang kedua adalah karomah, sebagaimana yang terjadi pada sahabat Abu bakar di atas, beliau tidak menghendaki hal tersebut atau berupaya untuk melakukannya, tapi Allah lah yang tahu kapan waktu memunculkan karomah tersebut.
Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dan termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya Karomah para wali dan apa-apa yang Allah perbuat dari keluarbiasaan melalui tangan-tangan mereka baik yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat (mengetahui hal-hal yang tersembunyi), bermacam-macam keluarbiasaan (kemampuan) atau pengaruh-pengaruh.” (Syarah Aqidah Al Wasithiyah hal.207).
Lalu, bagaimana mengetahui hal aneh itu karomah atau tipuan setan? Imam Syafii mengajarkan cara membedakannya, “Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah.” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193)
Sudah jelas bukan metode yang diberikan oleh Imam syafi’I ini? Manakala kita ingin mengetahui apakah itu karomah atau bantuan setan, silahkan dilihat seberapa besar keimanan dan ketaqwaan orang tersebut. Kalau memang kyai tersebut gemar beribadah dan menjalankan ketaatan yang diperintahkan, bisa jadi itu merupakan karomah, tapi sebaliknya kalau dia sering melakukan kemaksiatan bahkan kesyirikan, bisa dipastikan hal tersebut adalah karomah setan, kita dilarang mempercayainya. Atau hal tersebut hanya sebuah trik tangan atau cuma tipu daya yang dia lakukan, bisa saja.
Wallahu a’lam bisshawab
Pingback: Taubat Dan Perbaiki Adab - arrisalah
Pingback: Cinta Nabi Tapi Meninggalkan Perintahnya, Apa Cukup?