Ayah Galau, Anak Move On
Ayah Galau, Anak Move On – Siapa tak bangga memiliki anak yang shalih. Ia indah dipandang mata dan penurut saat diperintah. Ia membawa nama baik bagi keluarga dengan akhlaknya yang mulia. Ia menjadi cahaya ilmu bagi saudara-saudaranya. Tapi ternyata tak semua orang tua siap memiliki anak shalih. Ketika sang anak telah move on, hijrah menuju kebaikan, sang ayah masih galau dan fanatic kepada kebatilan. Ia tak bisa mengambil manfaat dari keshalihan anaknya, bahkan sang ayah menjadi penentang utama usaha dakwah anaknya.
Allah mengisahkan hubungan ayah dan anak dalam surat Maryam: 41-49. Kisah ini menceritakan seorang ayah awam yang memiliki anak yang shalih bahkan seorang Nabi. Keshalihan sang anak ternyata tak membuat ayahnya serta merta bergerak menuju kebaikan. Sejarah mencatat, ayah itu bernama Azhar dan sang anak bernama Ibrahim.
Menariknya lagi, Allah memulai kisah dalam surat ini dengan sebuah perintah kepada Rasulullah, “Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” Berkata bapaknya, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” Berkata Ibrahim, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Rabbku.” Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi Nabi.”
Kisah tersebut menjelaskan hubungan seorang anak shalih dengan ayahnya yang masih memegang teguh budaya leluhurnya. Nabi Ibrahim telah menyeru sang ayah agar beribadah kepada Allah saja serta meninggalkan peribadahan kepada patung dan berhala yang tak bisa mendatangkan bahaya dan manfaat sama sekali. Beliau juga menasihati ayahya untuk mengikutinya berjalan di atas jalan yang lurus.
Nabi Ibrahim juga mengingatkan ayahnya akan azab yang pedih yang disediakan Allah bagi orang-orang yang keras kepala, berpaling, dan sesat. Kelak, orang yang mengalami siksa tersebut akan berandai-andai sekiranya mereka mati agar bisa beristirahat dari siksaan dan selamat dari kebinasaan.
Sayangnya, meskipun Nabi Ibrahim menyampaikan nasihat-nasihat yang begitu menggetarkan hati namun azar membalas anaknya dengan sikap berpaling, menampakkan permusuhan, mengancam akan merajam dan menyiksanya serta tidak akan berbicara atau bergaul dengannya. Beruntung Nabi Ibrahim adalah orang yang berhati mulia dan memiliki iman yang kokoh. Ia terima sikap ayahnya dengan lapang dada. Beliau berharap sang ayah mendapat ampunan dari Allah.
BACA JUGA : Kisah Pasangan Harmonis yang Paling Tragis
Sang ayah tidak memperoleh manfaat sedikit pun dari keshalihan anaknya. Sebab ia lebih fanatik kepada leluhurnya. Kelak di hari kiamat wajahnya akan nampak hitam dan berdebu lalu Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Bukankah telah kukatakan padamu untuk tidak menentangku. Ayahnya berkata, “Baiklah, hari ini aku tidak akan menentangmu.” Ibrahim berkata, “Rabbi sesungguhnya Engkau berjanji kepadaku tidak akan menghinakan diriku di hari berbangkit, lantas kehinaan apa yang melebihi dijauhkan ayahku? Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku telah mengharamkan surga bagi orang-orang kafir.” (HR. Bukhari).
Kita mencoba berbicara dari sudut pandang ayah. Betapa banyak kita temui seorang ayah bersusah payah menyekolahkan anaknya ke pesantren terbaik, tapi justru sang ayah yang gagal move on. Ketika sang anak pulang mengenakan jilbab syar’I seusai mengkaji agama, orang tua mengintrogasinya dengan keras. Bukan berjaga-jaga lantaran banyaknya aliran sesat yang ia ketahui, namun ia ingin anaknya tampil seperti biasa lantaran khawatir apa yang kelak dikatakan oleh tetangga. Ia lebih takut omongan orang tenimbang dosa karena tak bisa menjaga keluarga dari siksa neraka. Atau mereka melarang secara halus dengan menasihati anak agar memperbaiki sikapnya dahulu sebelum mengenakan jilbab syar’I, namun esensinya sama.
Sebagian orang tua sibuk dengan urusan dunianya sehingga abai urusan akhiratnya. Ketika anaknya pulang membawa keshalihan, sang ayah masih sibuk dengan bidah dan kemaksiatan. Sang ayah tak siap memiliki anak shalih. Nasihat anak tak jarang berbenturan dengan egoisme ayah dengan prinsip-prinsipnya. Akhirnya ayah dan anak seolah berdiri di pulau yang berseberangan tak mengenal satu sama lain.
Ayah harus tetap mengusahakan perubahan positif pada dirinya karena hidayah taufik hanyalah milik Allah semata. Semoga Allah karuniakan anak yang shalih dan hidayah taufik kepada kita dan keluarga. Amin. [Bahri]
Pingback: Mengajarkan Syahadat Kepada Anak agar Ia Selamat