Tangisan yang Menyelamatkan
Suatu malam Muhammad bin Al-Munkadir bangun melaksanakan shalat, lalu dia menangis sesenggukan, hingga keluarganya merasa khawatir. Merekapun bertanya, “Apa yang memembuatmu menangis?” Dia pun berbicara dengan perkataan yang tidak jelas, dan justru tangisnya semakin menjadi-jadi. Maka keluarganya mengirim utusan kepada Abu Hazim dan memberitahukan tentang keadaannya. Abu Hazim pun datang, dan dia masih dalam keadaan menangis. Abu Hazim pun berkata, “Wahai saudaraku, apa yang menyebabkan Anda menangis? Keluargamu sangat mengkhawatirkan dirimu.” Lalu dia berkata, “Aku menangis karena aku membaca satu ayat dari kitabullah.” Abu Hazim bertanya lagi, “Ayat yang mana?” dia menjawab, “Firman Allah.
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللهِ مَا لَمْ يَكُوْنُوْا يَحْتَسِبُوْنَ
“Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar : 47)
Maka Abu Hazim pun turut menangis bersamanya, dan tangisan keduanya semakin keras. Maka sebagian keluarganya berkata kepada Abu Hazim, “Kami mengundang Anda untuk meredakan tangisnya, tapi Anda justru menambahnya.”
Menyelamatkan di Makshar dan Terhindar dari Neraka
Itulah tangisan para ulama yang takut kepada Allah. Bukan karena sandiwara, bukan pula karena fisik yang terluka. Namun tangisan takut yang didasari oleh ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap hari Kiamat. Inilah tangisan yang paling bermanfaat, terlebih di akhirat.
Ketika manusia berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin, tanpa alas kaki, tanpa pakain dan tidak berkhitan. Matahari didekatkan di atas kepala manusia dengan jarak satu mil saja, selama satu hari yang kadarnya 50.000 tahun dalam hitungan hari di dunia. Tak ada lagi bangunan atau pepohonan yang bisa dijadikan sebagai naungan. Hanya ada naungan Ar-Rahman sebagai fasilitas eksklusif teruntuk beberapa golongan manusia istimewa. Mereka tak merasakan penat, tak terjamah banjir keringat pada saat kebanyakan manusia tenggelam olehnya, dan selamat dari panasnya terik matahari yang membakar. Mereka memiliki unggulan amal di dunia, hingga manusia melihat bagaimana ia mendapatkan naungan, di hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah. Satu di antara golongan tersebut adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Seseorang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi hingga meneteskan air mata.” (HR Bukhari)
Nabi menyifati orang ini sebagai ahli dzikir, bukan orang yang lalai. Bisa jadi dia berdzikir dengan cara membaca al-Qur’an, bertasbih, bertahmid, berdoa, atau dengan mengingat dosa dan menyesalinya sebagai wujud taubatnya kepada Allah. Dengan dzikir tersebut melahirkan rasa takut akan adzab Allah dan merasa malu kepada-Nya. Bahkan ingatannya mencapai hari dimana segala perbuatan akan di tampakkan pada Hari Kiamat, sebagaimana penjelasan adh-Dhahak rahimahullah terhadap hadits ini.
Yang kedua, dia dalam kondisi sepi dan sunyi, tidak ada manusia di sekitarnya yang melihat. Sehingga lebih jauh dari kemungkinan riya’ (pamer) dan sum’ah. Hatinya sunyi dan kosong dari memikirkan atau mengharap kepada selain Allah, sebagaimana fisiknya sepi dari pandangan manusia.
Dia berdzikir kepada Allah dengan sembunyi-sembunyi, maka Allah memberinya balasan secara terang-terangan, bahkan Allah menunjukkan balasan baik untuknya di hadapan seluruh makhluk pada hari Kiamat. Ketika panasnya rasa takut kepada Allah telah membuatnya menangis di dunia, maka sebagaimana kaidah ‘balasan itu sepadan perbuatan’, Allah menyelamatkannya dari panasnya matahari pada hari Kiamat dan menaunginya dalam naungan-Nya.
Tak hanya saat di makhsyar tangisan ini berguna. Pada perjalanan akhir di akhirat tangisan tersebut menjadi benteng seseorang dari jilatan api neraka. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma,
عَيْنَانِ لاَ تَمَسَّهُمَا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi).
Ini adalah penyebutan satu bagian tapi yang dimaksud semuanya, yakni seluruh jasad tidak akan disentuh api neraka. Disebutkannya mata karena ia menjadi sebab terhalangnya seseorang dari api neraka.
BACA JUGA : Lari Dari Adzab Kubur
Dari Hati Naik ke Mata
Tangisan adalah syi’ar taubat. Memanag tidak semua tangisan manusia bernilai taubat atau menjadi sebab selamat, tergantung sebab dan pemicu kenapa ia menangis. Namun saat penyesalan dosa muncul dari hati yang tulus, diiringi pengharapan akan pengampunan Allah, maka air mata akan mudah meleleh. Maka lelehan air mata ini mampu menghapus dosa-dosa, hingga ia seperti orang yang tak pernah melakukan dosa sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
“Barangsiapa yang bertaubat dari dosa, maka dia seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim, al-Albani menyatakan sebagai hadits hasan)
Maka berubahlah posisinya dari orang berdosa yang terancam oleh api neraka menjadi orang yang aman dan terjaga dari api neraka lantaran taubatnya.
Air mata juga menjadi syi’ar kelembutan hati dan kekhusyukan. Syeikh Shidiq Hasan Khan ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala,
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’ : 109)
Beliau mengatakan, “Mereka menyungkur atas mukanya dengan beberapa sebab. Pertama sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah Yang Mahasuci dan mensucikanNya dengan cara bersujud kepada-Nya. Yang kedua ia menyungkur atas muka karena tangisan yang disebabkan oleh nasihat al-Quran yang sampai kepada hatinya sehingga kekhusyukan mereka bertambah. Oleh karena itu Allah berfirman (dan bertambahlah mereka) karena mendengarkan al- Quran yang didengar oleh mereka, atau tangisan atau sujud atau penjelasan firman Allah yang dibacakan kepada mereka. Sedangkan maksud dari khusyuk adalah kelembutan hati dan berlinangnya airmata.”
Air mata karena takut kepada Allah ini termasuk tetesan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ شِيْئٌ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ قَطْرَيْنِ وَأَثَرَيْنِ : قَطْرَةُ دُمُوعٍ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهْتَرَقُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. فَأَمَّا اْلأَثَرَيْنِ فَأَثَرٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَأَثَرٌ فِي فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللهِ.
“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah daripada dua tetes dan dua bekas. Du tetesan itu adalah air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang tertumpah di jalan Allah. Sedangkan dua bekas itu adalah bekas-bekas fii sabilillah dan bekas-bekas melakukan suatu kewajiban di antara kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah.” (HR Tirmidzi)
Rahasia hal ini adalah karena menangis karena takut kepada Allah itu merupakan tanda paling jelas yang menunjukkan bahwa rasa takut kepada Allah di hatinya itu telah menyingkirkan rasa takut kepada selain-Nya, sehingga rasa takut itu bertahta di di singgasana hati, dia takut menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, sekaligus tidak ada rasa takut, berharap, tawakkal, cinta, dan bergantung melainkan kepada Allah semata. Ia sadar, bahwa gunung pun akan hancur berkeping apabila firman-Nya turun kepada mereka. Hal itu menumbuhkan rasa takut dan hati bergetar jika dibacakan ayat-ayat-Nya. Perasaan gemetar ini akan mengalir dari hati menuju mata, sehingga bercucuranlah air mata.
Tangisan Para Shalihin
Jalan para shalihin di kalangan salaf diwarnai oleh tangisan karena takut kepada Allah. Kita dapati mereka mencapai kesungguhan dalam ibadah dan mentaati Allah, namun juga memuncak rasa takutnya kepada Allah.
Suatu kali, Hasan al-Bashri rahimahullah menangis, lalu beliau ditanya, “Kenapa Anda menangis?” Beliau menjawab, “Saya takut jika Allah melemparkanku ke dalam neraka lalu Dia tidak mempedulkan aku.”
Masruq rahimahullah berkata, “Saya pernah membacakan ayat yang didengar Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS ath-Thuur 27)
Ketika itu Ibunda Aisyah menangis dan berdoa, “Ya Allah, berilah karunia kepadaku dan jagalah aku dari adzab neraka, sesungguhnya Engkau Mahabaik lagi Maha Penyayang.”
Para salaf juga memahami, betapa pentingnya tangisan semisal ini. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bisa menangis karena takut kepada Allah, itu lebih saya sukai daripada saya bersedekah dengan seribu dinar.”
Selanjutnya ada pertanyaan tertuju untuk kita, “Adakah kita mengalami hal yang sama?” Ketika mata sulit menangis karena Allah, hati tak tersentuh oleh ayat-ayat suci, jiwa juga tak tergugah oleh ancaman-ancaman akhirat, besar kemungkinan karena hati telah ternoda oleh banyaknya dosa, atau hati telah mengeras karena terlalu lama tak disiram dengan dzikir kepada Pencipta.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “karat hati itu disebabkan oleh dua hal; karena lalai dan dosa, maka pembersihnya ada dua juga; yakni dengan istighfar dan berdzikir kepada Allah.”
Wallahu a’lam bishawab.
Pingback: Santun Tersandang, Neraka Terhalang - arrisalah
Pingback: Majalah Islam Arrisalah|Majalah Muslim Arrisalah