Kesalahpahaman (?)
Dalam komunikasi dan pergaulan, tidak jarang terjadi kesalahpahaman antara seseorang dengan yang lain, satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ada yang murni karena masalah bahasa, ada juga yang diakibatkan oleh sebab lain di luar faktor bahasa. Jika persoalan yang muncul murni faktor bahasa, penyelesaiannya lebih mudah. Tetapi jika bahasa hanya sebagai bungkus, ada persoalan lain yang ditutupi dengan alasan salah mengerti atau salah paham, maka mengurainya lebih sulit, bahkan kadang tidak dapat diselesaikan.
Kesalahpahaman Terbesar
Dalam kehidupan, kesalahpahaman terbesar dengan akibat paling fatal adalah kesalahpahaman terhadap Rasul utusan Allah. Dikatakan begitu, karena akibat yang ditimbulkan di dunia oleh ‘kesalahpahaman’ ini tidak jarang menimbulkan efek pengucilan, pengusiran bahkan pembunuhan. Di akherat ‘kesalahpahaman’ ini membawa sesalan tersembunyi, kemudian terang-terang dan siksa tanpa kesudahan.
Salah paham terhadap Nabi, pada umumnya bukan faktor bahasa dan pilihan kata yang kurang bagus. Dalam kasus Nabi Musa, hal mana beliau merasa kurang fasih berbicara, Allah menguatkannya dengan Nabi Harun yang lebih fasih. ‘Kesalahpahaman’ kepada nabi dan rasul lebih disebabkan oleh faktor sangkaan bahwa para nabi itu akan merebut pengaruh dan kepengikutan. Karena itu kebanyakan yang ‘menyalahpahami’ mereka adalah para pemimpin yang sebelumnya memegang pengaruh dan kepemimpinan di tengah manusia baik karena faktor kekayaan, kecerdasan, ilmu sihir, memiliki klan yang kuat atau semata-mata mewarisi kepemimpinan dari orang tua dan pendahulunya. Selubung itulah yang menjadikan mereka menentang dakwah para nabi dengan penentangan paling keras dalam sejarah.
Kasih Sayang dibalas Permusuhan
Para nabi memiliki perspektif berbeda dengan cara pandang mereka yang menentang. Para penentang menuduh dan bersikukuh dengan tuduhan bahwa seruan dakwah para nabi itu hanyalah kedok untuk merebut dan mendapatkan pengaruh dan kekuasaan yang selama ini mereka monopoli. Adapun para nabi, memandang mereka (umatnya) baik para tokoh maupun manusia banyak yang mengikutinya dengan pandangan kasih sayang yang tulus. Beban-beban kehidupan, peribadatan, persembahan korban yang membebani, upacara-upacara yang menyakiti fisik (kehidupan kerahiban, misalnya), atau ritual yang mencampakkan rasa malu (contoh, thawaf dengan bertelanjang) yang disangka dengannya akan mendekatkan diri mereka kepada Allah adalah ritual palsu yang tidak dikehendaki oleh Allah. Umat terdhalimi dengan itu dan tidak mendapatkan apapun, dunianya maupun akheratnya. Sedang mereka yang mengklaim sebagai pemimpin yang memberati tengkuk manusia dengan beban-beban itu, dhalim. Mereka harus dicegah dari perbuatan dhalimnya. Kasih sayang para rasul itu digambarkan pada diri RasululLah shallalLahu ‘alayhi wa sallam oleh Allah. Firman-Nya :
Sungguh telah datang kepada kamu sekalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, (Rasul itu) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman. [At-Taubah : 128].
Jika hal itu dianggap sebagai ‘kesalahpahaman’, maka kesalahpahaman tersebut merupakan salah paham paling pelik, paling berat untuk diurai, paling sulit untuk meyakinkan pihak yang ‘menyalahpahami’ bahwa hal itu merupakan kesalahpahaman mereka kepada para utusan itu. Kesalahpahaman paling keras yang meniscayakan isolasi dan embargo, pengusiran, pembunuhan dan peperangan paling sengit sepanjang sejarah. Untuk peperangan dengan sebab selainnya, selalu terbuka peluang untuk duduk berunding, negosiasi, berbagi kepentingan dan rukun, akan tetapi tidak untuk peperangan dengan sebab yang satu ini.
Nabi Nuh dimusuhi dan diolok-olok, Ibrahim dibakar, Musa diusir, Zakaria digergaji hingga terpotong tubuhnya, Yahya dibunuh, ‘Isa bin Maryam hampir saja dibunuh, dua orang Rasul utusan Allah yang dikisahkan di surat Yasin dan dikuatkan oleh orang yang ketiga, semuanya dibunuh. Padahal para Nabi tersebut amat kasih sayang kepada mereka, melebihi kasih sayang mereka terhadap dirinya sendiri.
Mereka dituduh tukang sihir, pembawa sial dan pemecah belah kaum. Diancam beragam ancaman mulai timpukan batu hingga pembunuhan,..dan ancaman itu bukan bualan kosong, kaum mereka benar-benar mewujudkannya. Berulang kali Nabi Muhammad shallalLahu ‘alayhi wa sallam harus berperang untuk mencegah kejahatan mereka. Dan bukti kasih sayangnya kepada kaum yang telah berbuat semena-mena dan memeranginya selama 22 tahun lebih itu, tatkala mereka telah ditaklukkan, tidaklah beliau melampiaskan dendam, beliau berkata, “Idzhabuu..! antum ath-Thulaqaa’…”, pergilah..! kalian bebas.
Penyesalan Terbesar
Karena itu penyesalan di akherat yang paling dalam adalah sesal karena ‘menyalahpahami’, menentang, memerangi dan membunuh rasul. Allah memberitakannya sebelum kejadian itu terjadi :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang dzalim menggigit dua tangannya, sambil berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Betapa celakanya aku, seandainya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrab. [Al-Furqan : 27-28].
Bahkan mereka berharap seandainya mereka dihancurkan kedalam tanah dan tidak ada hisab :
Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasul, sangat ingin seandainya mereka disamaratakan dengan tanah (dibenamkan kedalam tanah atau hancur sehingga tidak menghadapi hisab), dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) suatu kejadian pun. [An-Nisaa’ : 42].
BACA JUGA : Menabur Angin Memanen Badai
Manusia yang Paling Potensial di-‘Salahpahami’
Nabi telah memberikan ‘warning’ bahwa pilihan jalan hidup bersama Nabi meniscayakan beratnya ujian, potensial untuk disalahpahami dan dicurigai mempunyai niat lain di balik ajakan dakwahnya. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash dalam sebuah hadits marfu’ berkata :
Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian (level) di bawahnya, kemudian dibawahnya lagi. Seseorang diuji sebanding dengan keteguhan agamanya. Jika dia konsekuen dalam melaksanakan dien maka ujiannya pasti berat, jika dia kurang kuat dalam melaksanakan agama, maka dia akan diuji sebatas itu pula. Ujian (cobaan) dalam melaksanakan dien akan terus menimpa seseorang sehingga ujian itu meninggalkannya dalam keadaan orang itu bersih dari kesalahan (karena dihapus dengan sabarnya menerima ujian). [Imam At-Tirmidzi : shohih].
Para ulama’ Rabbaniyyun, para du’at yang jujur, serta umat yang komitmen terhadap agamanya merupakan kelompok manusia yang harus paling siap menghadapi ujian keimanan.
Pingback: Korban Ketampanan - arrisalah