Akidah Khawarij tentang Iman
Umumnya Khawarij berpandangan bahwa hakikat iman itu meliputi ma’rifat dalam hati, ikrar dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Menurut mereka, tidak ada iman bagi orang yang tidak terkumpul padanya ketiga perkara di atas.
Ibnu Hazm mencatat, menurut Khawarij iman akan hilang dengan hilangnya amal. Jika seseorang memenuhi semua amal yang menjadi tuntutan iman, sempurnalah imannya. Sedangkan bila amalnya kurang, maka ia pun keluar dari iman.
Sedangkan menurut catatan Ibnu Taymiyah, Khawarij berpandangan, iman mutlak itu meliputi seluruh perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak dibagi-bagi. Apabila sebagiannya hilang, maka menjadi kafirlah seseorang.
Syaikh ‘abdul’aziz Muhammad Salman berkata, “Menurut Khawarij dan Mu’tazilah, tidak disebut mukmin kecuali orang yang menunaikan kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka berkata, ‘Agama dan iman itu meliputi ucapan, amalan dan keyakinan. Hanya saja ia tidak bertambah dan tidak berkurang. Barangsiapa melakukan dosa besar seperti membunuh, liwath (perilaku homoseksual), qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti/saksi), dan lain sebagainya, kafirlah ia menurut Haruriyah. Mereka pun menghalalkan hak-hak orang tersebut sebagaimana mereka menghalalkannya dari orang-orang kafir.’ Menurut mereka, orang tersebut telah keluar dari iman lantaran melakukan kemaksiatan yang karena kemaksiatan seperti itu pula hal-hak orang-orang kafir menjadi halal.”
BACA JUGA : Al Quran, Keajaiban Dunia yang Terabaikan
Beda Khawarij dengan Ahlussunnah
Pandangan Khawarij tentang hakikat iman sebenarnya sama dengan pandangan Salaf: bahwa ia meliputi keyakinan, ucapan, dan amalan.
Dalam Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Bathal al-Maliki menyatakan, “Pandangan jamaah Ahlussunnah dari kalangan para Salaf dan Khalaf adalah bahwa iman meliputi ucapan dan amalan serta dapat bertambah dan berkurang.”
Ibnu Taymiyah berkata, “Di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah ada banyak nash yang menjelaskan mengenai tidak adanya iman bagi orang yang tidak punya amal. Petunjuk syariat yang menjelaskan bahwa amal-amal wajib merupakan bagian dari kesempurnaan iman pun tak terhitung.”
Ibnu Hajar berkata, “Yang dimaksud oleh Ahlussunnah tentang amal sebagai bagian dari iman adalah bahwa amal menjadi syarat kesempurnaan iman. Dari sinilah hadir pemahaman mereka bahwa iman dapat bertambah dan berkurang.”
Yang membedakan antara keduanya, Khawarij menjadikan semua amal wajib sebagai syarat sah iman, sedangkan Salaf tidak. Menurut Salaf, tidak semua amal wajib menjadi syarat sah iman. Yang menjadi syarata sah iman tidak banyak.
Berangkat dari keyakinan bahwa amal adalah syarat penyempurna bagi adanya iman, para Salaf tidak menyebut seseorang sebagai orang yang sempurna imannya kecuali jika ia menjauhi semua dosa besar. Tidak juga kepada orang-orang yang tidak mengerjakan salah satu kewajiban Islam. Sehubungan dengan mereka Ahlussunnah mengatakan, “Orang itu mukmin dengan imannya dan fasiq dengan dosa besar yang dilakukannya.”
Imam an-Nawawi berkata, “Sebutan mukmin tidak disematkan kepada orang yang melakukan dosa besar atau meninggalkan amalan fardhu. Sebab, sebutan sesuatu secara mutlak berlaku untuk hakikat yang sempurna, tidak berlaku untuk yang kurang. Oleh karena itulah sebutan mutlak boleh dinafikan dari mereka yang tidak sempurna dalam memenuhi hakikat iman. Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak beriman seorang pencuri ketika ia mencuri.’ Yakni tidak beriman dengan iman yang sempurna.”
Ibnu Taymiyah berbicara tentang orang yang imannya tidak sempurna. “Hendaknya dikatakan, ‘Dia mukmin yang imannya tidak sempurna. Dia mukmin dengan imannya dan fasiq dengan dosa besar yang dilakukannya. Dia tidak berhak disebut dengan mukmin secara mutlak karena al-Qur`an dan as-Sunnah menegasikannya.”
Syaikh ‘Abdul’aziz Muhammad Salman berkata, “Sedangkan Ahlussunnah, mereka berkata, “Iman meliputi ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan amal perbuatan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”
Beliau juga menyatakan, “Barangsiapa melakukan dosa besar, maka menurut Ahlussunnah ia adalah mukmin yang imannya kurang. Atau dengan ungkapan lain, ia mukmin lantaran imannya dan fasiq lantaran dosa besar yang dilakukannya. Di akhirat, statusnya terserah kepada Allah (bisa jadi mendapat siksa, dan bisa jadi pula mendapat ampunan sehingga langsung masuk surga).”
Bertambah dan Berkurangnya Iman
Lantaran Khawarij berpandangan bahwa amal merupakan bagian dari iman, sebagai konsekuensinya, pandangan mereka tentang bertambah dan berkurangnya iman serta hukum pelaku dosa besar adalah sebagai berikut:
Secara umum Khawarij berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Iman itu terus ada atau hilang secara keseluruhan. Menurut mereka, hilangnya iman terjadi karena tidak dikerjakannya sebagian amal wajib atau dilakukannya sebagian dosa besar. Berkurangnya sebagian iman menyebabkan hilangnya keseluruhan iman, menurut mereka. Dan oleh karena itu pelakunya akan kekal di neraka.
Ibnu Taymiyah menjelaskan, menurut Khawarij, jika seseorang keluar dari iman, ia pun keluar dari Islam. Sebab, tidak ada beda antara islam dan iman.
Menurut Khawarij, kemaksiatan tidak mengurangi iman melainkan merusak dan menghilangkannya. Tidak ada bertambah dan berkurangnya iman. Tidak ada ampunan di akhirat buat pelaku dosa besar, pun tidak ada syafaat.
Padahal ada banyak nash syar’i yang menegaskan adanya tambah-kurang iman. Di antaranya:
“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Muddatsir: 31)
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi: 13)
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124)
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.” (Maryam: 76)
Hubungan antara Islam dan Iman
Menurut Khawarij, tidak ada perbedaan antara islam dan iman. Islam dan iman itu satu. Jika salah satunya hilang, hilanglah keduanya.
Sedangkan menurut Ahlussunnah, islam dan iman itu tidaklah sama. Ibnu Taymiyah menjelaskan, iman lebih khusus daripada islam. Jika yang lebih khusus ada maka yang umum pasti ada, tetapi tidak sebaliknya. Ibnu Taymiyah juga menyatakan bahwa agama ini meliputi tiga perkara: islam, iman, dan ihsan. Dan ada tiga tingkatan: muslim, mukmin, dan muhsin. Di dalam ihsan ada iman dan di dalam iman ada islam. Orang-orang muhsin lebih khusus daripada orang-orang mukmin; orang-orang mukmin lebih khusus daripada orang-orang muslim.
Dengan bahasa lain Ibnu Taymiyah menjelaskan, islam itu suatu kewajiban; iman pun demikian. Islam menjadi bagian iman. Maka barangsiapa beriman sebagaimana mestinya, pastilah ia sudah memenuhi islam, tetapi barangsiapa yang berislam belum tentu memenuhi semua tuntutan iman.
Wallahu a’lam.
Pingback: 5 Hal yang Meneguhkan Akidah - arrisalah