Qadha Shalat Saat Perjalanan
Ustadz, saya sering bolak-balik Solo—Lampung dengan bus. Ketika waktu Shubuh biasanya bus tidak berhenti dan baru berhenti sekitar pukul 08.00 pagi. Akhirnya saya shalat Shubuh di bus. Pertanyaan saya: bolehkah bertayamum sementara di dalam bis AC tidak ada debu yang nampak. Haruskah saya meng- qadha shalat saat bis berhenti? (Firda—Lampung)
Ada dua hal yang perlu dijelaskan di sini. Pertama tentang tayamum dan kedua tentang shalat tanpa mengerjakan sebagian rukunnya. Para ulama menjelaskan, tayamum tidak boleh dilakukan kecuali jika tidak mampu menggunakan air, baik secara hakiki—yakni tidak mendapati air, atau secara hukmi—yakni mendapati air namun seseorang tidak mampu menggunakannya karena sakit ataupun yang lain.
Bus AC yang menyediakan tiolet, masih memungkinkan penggunaan air. Apalagi di toilet tersebut tersedia air. Pun tidak ada ukuran minimal penggunaan air untuk berwudhu. Praktik wudhu para ulama menghabiskan sekitar 1 liter air saja. Mungkin kita tidak terbiasa berwudhu dengan 1 liter air tersebut. Masalahnya, tidak semua hukum sesuai dengan kebiasaan dan perasaan kita. Sebelum berangkat kita dapat menyiapkan 2 botol air. Sebotol untuk persediaan minum dan sebotol lagi untuk persediaan wudhu.
Keadaan Boleh Tayamum
Jika memang tidak ada air di toilet bus dan tidak membawa juga tidak ada yang menjual, dan di kursi bus ada debu, tetapi biasanya bus AC yang tertutup tidak mengandung debu, jika diasumsikan ada, maka boleh bertayamum. Ibnu Qudamah, jika seseorang meletakkan tangannya pada pakaian, dinding, batu, binatang, dan lain sebagainya sehingga ia dapati debu yang menempel padanya, maka ia boleh bertayamum dengannya, namun jika tidak ada, tidak boleh.
Jika tidak mendapati air dan debu, maka berlaku padanya hukum faqiduth thahurain (orang yang tidak mendapati dua alat bersuci: air dan debu). Pendapat para ulama sehubungan dengan faqiduth thahurain adalah sebagai berikut:
Ragam Pendapat tentang Faqiduth Thahurain
Pertama, ia tidak perlu mengerjakan shalat dan tidak perlu pula mengqadha`nya. Ini adalah pendapat para ulama madzhab Maliki. Alasan mereka, ketika kewajiban shalat datang ia tidak dapat memenuhi syaratnya, yakni wudhu atau tayamum. Nabi saw bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats (kecil) sehingga ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, shalat yang diwajibkan pada saat itu pun gugur darinya.
Kedua, ia tidak perlu mengerjakan shalat, tetapi harus mengqadha`. Ini adalah pendapat imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut beliau. Ini pula pendapat Sufyan ats-Tsawri dan al-Awza’iy. Alasan mereka, faqiduth thahurain tidak memenuhi syarat shalat sehingga wajib mengqadha`-nya. Mereka mengqiyaskan keadaan faqiduth thahurain dengan keadaan orang yang tertidur atau lupa belum mengerjakan shalat. Keduanya tetap wajib mengerjakannya meskipun sudah di luar waktu shalat.
Ketiga, ia harus mengerjakan shalat pada waktunya meskipun tanpa wudhu atau tayamum dan mereka wajib mengqadha’. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Abu Yusuf—sahabat Imam Abu Hanifah, sebagian ulama madzhab Maliki—seperti Ibnu al-Qasim, Ibnu ‘Abdulhakam, dan Mutharrif—serta pendapat Imam Ahmad, menurut satu riwayat dan ath-Thabariy. Alasan mereka, setiap muslim berkewajiban untuk bertakwa kepada Allah dengan sebatas maksimal kemampuannya. Dia harus mengerjakan shalat pada waktunya. Dan oleh karena ia mengerjakannya dengan tanpa memenuhi syaratnya, ia wajib mengqadha-nya.
Keempat, ia harus mengerjakan shalat pada waktunya meskipun tanpa wudhu atau tayamum dan mereka tidak wajib mengqadha`. Ini adalah pendapat Imam Ahmad—menurut salah satu riwayat, dan pendapat para ulama madzhab Hambali. Alasan mereka, wajib melakukan shalat sesuai dengan kemampuan seseorang. Faqiduth thahurain tidak mampu berwudhu atau bertayamum. Tetapi dia tetap harus mengerjakan shalat. Dia tidak perlu mengulang atau mengqadha’-nya karena telah memenuhi apa yang wajib atasnya sebatas kemampuannya.
BACA JUGA : Cara Makmum Masbuk Mengikuti Imam
Pendapat ini dikuatkan dengan hadits dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim tentang orang-orang yang diutus Nabi untuk mencari kalung milik ‘Aisyah. Saat masuk waktu shalat, mereka mengerjakan shalat tanpa berwudhu (karena tidak mendapati air dan syariat tayamum belum turun). Saat mereka berjumpa dengan Nabi, mereka mengadukan hal itu, turunlah ayat yang menerangkan tentang tayamum. Nabi sendiri tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat.
Kelima, disunnahkan shalat dan wajib mengqadha`. Ini adalah qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad—menurut satu riwayat.
Bila Rukun Tidak Dapat Dikerjakan
Pada asalnya seseorang harus menghadap kiblat saat mengerjakan shalat, meskipun harus berputar beberapa kali sebagaimana dinyatakan oleh para ulama pada kasus shalat di atas kapal. Untuk shalat sunnah tidak perlu, sebab Nabi saw pun mengerjakan shalat sunnah tanpa menghadap kiblat kecuali pada saat takbiratul ihram. Demikian pula halnya dengan rukuk dan sujud. Harus dikerjakan dengan sempurna.
Jika seseorang tidak dapat selalu menghadap kiblat dalam shalatnya dan tidak dapat pula berdiri, rukuk dan sujud, menurut madzhab Hambali ia harus mengerjakan shalat semampunya dan tidak perlu mengqadha’-nya. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, ia harus mengerjakan shalat semampunya dan harus pula mengqadha’-nya.
Wallahu a’lam.