Menahan Amarah Menggapai Jannah
Ada seorang laki-laki datang meminta kepada Nabi saw agar memberikan nasehat kepadanya. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi saw tetap bersabda: “Engkau jangan marah!” (HR. Bukhari).
Marah adalah Tabiat
Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah. Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari diri manusia, termasuk Rasulullah saw.
Beliau bersabda,
“Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.”(HR. Muslim)
Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah marah. Namun beliau tidak pernah marah karena urusan dirinya sendiri (pribadi) atau karena hal-hal duniawi, kecuali jika kesucian/ kehormatan Allah dilanggar.
“Sesungguhnya Nabi saw tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah dilanggar, ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau pernah marah yang bercampur dengan rasa duka yang mendalam, bahkan diteruskan dengan menjatuhkan laknat yang amat dahsyat. Kejadiannya adalah ketika Rasulullah saw sedih dan marah sekali tatkala mendengar kabar terbunuhnya 70 orang shahabatnya dibunuh. Tujuh puluh shahabat ini memang bukan shahabat biasa, mereka adalah para ulama yang telah beliau saw bina bertahun-tahun. Belum pernah beliau saw merasakan kecewa sedalam itu selama ini, sampai reaksinya melaknat dan mendoakan keburukan secara massal kepada suatu kaum.
Marah yang dilarang
Larangan Rasul saw dalam hadits di atas, lâ taghdhab (jangan marah), bukan merupakan larangan atas marah secara mutlak. Sebab, marah adalah bagian dari tabiat alami manusia, termasuk hal jibiliyah, sehingga tidak mungkin bisa dihindari secara mutlak. Karena itu, larangan untuk tidak marah secara mutlak merupakan larangan yang tidak mungkin dipenuhi.
Makna larangan itu di antaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Al Mubarakfuri dalam Tuhfatul Akhwadzi, yaitu larangan dari banyak marah. Artinya, “Jangan banyak marah dan jangan mudah marah.”
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari , menjelaskan, “Larangan Rasul saw, lâ taghdhab (jangan marah) maknanya adalah: jauhilah sebab-sebab marah dan jangan terjerumus ke dalam apa saja yang dihasilkan oleh marah itu. Marah itu sendiri tidak mungkin dilarang sebab marah adalah tabi’i (wajar dan alami), merupakan sesuatu yang bersifat jibiliah yang tidak mungkin hilang.”
Marah Sumber Keburukan
Marah adalah penyakit jiwa yang bisa membuat orang tak menghargai akal sehat dan pikiran normalnya. Jika seseorang marah dan tidak berusaha untuk mengendalikannya, ia akan berbicara atau berbuat di luar kesadaran sehingga nanti akan ia sesali. Betapa banyak kalimat talak diucapkan suami karena marah, dan setelah kemarahannya mereda ia sangat menyesal. Ada juga orangtua yang sangat marah kepada anaknya sehingga memukul dan menganiayanya, akibatnya anaknya menjadi cacat. Betapa banyak kemarahan menyebabkan hubungan persaudaraan menjadi putus, harta benda dirusak dan dihancurkan. Semua itu menunjukkan bahwa kemarahan yang tidak dikendalikan akan menyebabkan berbagai keburukan.
Ja’far bin Muhammad berkata: “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan”.
Keutamaan Menahan Amarah
Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji kaum mukminin yang bertakwa dengan sifat-sifat mulia yang cukup banyak, salah satunya mampu menahan amarah, gemar memaafkan orang yang salah, dan membalas keburukan orang dengan kebaikan.
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)
Rasulullah saw menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya,
“Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan panggil ia di hadapan para makhluk pada hari kiamat, hingga Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Ia akan mendapatkan ganjaran istimewa karena amalnya sewaktu di dunia juga istimewa. Istimewa karena tidak setiap orang mampu mengerjakannya. Disaat ia mampu melampiaskan kemarahannya karena ada kesempatan dan tidak ada yang mampu menghalangi keinginannya -seperti seorang penguasa kepada rakyatnya, atasan kepada bawahannya, orang tua kepada anaknya- namun ia tahan amarah tersebut untuk tidak ia lampiaskan karena hanya mengharap ridha Allah semata. Maka layak mendapatkan ganjaran terbaik, memilih bidadari yang ia sukai.
BACA JUGA : Wajah Bercahaya Tidak Tersentuh Api Neraka
Menahan amarah adalah sebab memperoleh ampunan Allah dan jannah-Nya:
“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imran: 133-134)
Sahabat Nabi, Ibnu Umar ra berkata: Tidak ada luapan yang lebih besar pahalanya di sisi Allah selain daripada luapan kemarahan yang ditahan oleh seseorang hamba demi menggapai wajah Allah.” (HR. Bukhari)
Abdullah bin Mubarak Al Marwazi, ketika dikatakan kepada beliau: Sampaikanlah kepada kami (nasehat) yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat. Beliau berkata: “(Yaitu) menahan kemarahan”.
Semoga kita bisa mengendalikan diri saat kemarahan datang. Karena cepat marah merupakan tanda lemahnya seseorang, meskipun ia memiliki badan yang sehat, lengan yang kuat, dan pandai bergulat.
“Orang kuat bukanlah yang ahli dalam bergulat, akan tetapi orang kuat adalah yang mampu mengekang dirinya saat marah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Begitu indah nasehat Rasulullah saw:
“Janganlah engkau mudah marah, niscaya engkau mendapatkan jannah.” (HR. Thabarani)
Pingback: Wajah Bercahaya Tidak Tersentuh Api Neraka - arrisalah
Pingback: Majalah Islam Arrisalah|Majalah Muslim Arrisalah