Wajib Berjamaah Haram Berfirqah
Kita meyakini, jamaah itu haq (benar) dan shawab (tepat) sementara firqah itu salah dan adzab
Salah satu prinsip Ahlussunnah adalah menuju jamaah atau persatuan umat dan menjauhi perpecahan dan segala hal yang mengakibatkan perpecahan. Ini adalah adab dan akhlak yang mesti dipahami dan diwujudkan oleh siapa pun yang mengaku sebagai bagian dari Ahlussunnah. Setiap orang haruslah berupaya dan mentarbiyah diri masing-masing untuk itu, sebab untuk itu memang diperlukan usaha dan tarbiyah.
Sayangnya, banyak orang lebih siap untuk berpecah-belah. Mestinya semua tahu bahwa karakter dasar banyak orang adalah egois, mengikuti hawa nafsunya, ingin dimengerti tetapi tidak mau mengerti. Oleh karena itulah para Salaf menyebut mereka yang keluar dari prinsip Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ahlul ahwa` (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu).
Makna Jamaah
Yang dimaksud dengan jamaah di sini adalah bersatunya umat Islam dalam menapaki jejak kenabian, menjadikan petunjuk Nabi sebagai panduan. Berjamaah maknanya berkumpul di atas kebenaran. Inilah rahmat. Berfirqah atau berpecah-belah adalah kebalikannya. Dan ia berakibat adzab dan kesengsaraan.
Allah berfirman,
“Berpegang teguhlah dengan tali Allah kalian semua serta janganlah berpecah belah.” (Ali ‘Imran: 103)
Para mufassir menjelaskan, tali Allah adalah al-Qur`an dan Islam. Maka makna berkumpul atau berjamaah adalah berkumpul dan berjamaah di atas al-Qur`an dan as-Sunnah. Dan sebagai penegas perintah untuk berjamaah, Allah melarang berfirqah, berpecah belah. Berkumpul harus di atas al-Qur`an dan Islam, tidak boleh di atas asas yang lain, sebab itu mengakibatkan perpecahan. Jamaah yang benar tidak akan terwujud kecuali dengan berdasar pada al-Qur`an.
Meskipun kaum muslimin berada di tempat yang berjauhan, mereka harus bersatu di atas kebenaran. Hati mereka harus menyatu. Sebagian mereka harus mencintai sebagian yang lain. Mereka mesti bekerja sama dan bahu membahu dalam mengejawantahkan seluruh perintah Allah. Jika ada di antara mereka yang sakit, yang lain pun akan turut merasakannya.
Adapun orang-orang yang memperjuangkan kebatilan dalam hidupnya, meskipun mereka berada di tempat yang sama, hati mereka berpecah belah. Mereka bersaing untuk mencari kepuasan masing-masing.
“Janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datangnya keterangan kepada mereka. Mereka itu akan mendapatkan siksa yang besar.” (Ali ‘Imran: 105)
Kaum muslimin haruslah bersatu dalam akidah, ibadah, dan ketaatan kepada ulil amri di antara mereka. Saat mereka mewujudkan petunjuk Nabi inilah saat mereka menjadi rahmat bagi mereka sendiri dan masyarakat sekitar mereka. Darah mereka terjaga, hati mereka bersatu, masyarakat mereka aman. Kehidupan yang sejahtera aman sentausa pun hadir menjelma.
Dua Sisi Jamaah
Kata jamaah disebut oleh Rasulullah saw dalam beberapa hadits shahih, di antaranya adalah hadits iftiraqul ummah berikut.
“Sesungguhnya Yahudi terpecah belah menjadi tujupuluh satu firqah, Nasrani terpecah belah menjadi tujupuluh dua firqah, sedangkan umat ini akan terpecah belah menjadi tujupuluh tiga firqah; semuanya di neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” “Mereka adalah Jamaah,” Jawab Rasulullah. Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Mereka adalah (yang berpegang teguh kepada) apa yang aku dan sahabat-sahabatku memeganginya.” (Hadits shahih riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidziy)
BACA JUGA: Makmum Sujud Tilawah Sendiri Setelah Selesai Dari Shalat Jamaah
Memperhatikan kehidupan Rasulullah dan para sahabat para ulama menyimpulkan bahwa berjamaah itu memiliki dua sisi. Seperti dua sisi mata uang, dua-duanya harus ada. Kedua sisi itu adalah: pertama, sisi ilmu, manhaj, atau konstitusi yang melandasi persatuan mereka. Kedua, sisi praktik, fisik, atau institusi hal mana Rasulullah memimpin para sahabat dalam hal ini, dalam membumikan semua perintah yang datang dari langit, dan para sahabat taat kepada beliau dalam hal itu.
Jika ada ulama salaf yang menafsirkan dengan dien saja atau dengan fisik saja, harus dipahami sebagai tafsiran sesuatu dengan sebagiannya. Hal itu biasa dilakukan oleh para salaf.
Sisi ilmu, manhaj, atau konstitusi jamaah adalah asas terbesar. Allah menurunkan kitab-Nya dan mengutus rasul-Nya untuk menegakkan jamaah secara sisi ini. Allah hendak mengumpulkan manusia dalam dien-Nya. Sisi atau makna ini terkandung dalam firman Allah,
“Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa; yaitu, ‘Tegakkanlah dien dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya!’.” (Asy-Syura: 13)
Sisi jamaah berkumpul secara fisik, yakni taat kepada ulil amri dalam selain kemaksiatan kepada Allah adalah sarana menuju yang pertama. Ada hubungan yang erat antara yang pertama dan yang kedua. Pelanggaran atau kekurangsungguhgan dalam melaksanakan yang pertama berakibat munculnya kerusakan pada yang kedua. Begitu pun sebaliknya, pelanggaran atau kekurangsungguhan dalam melaksanakan yang kedua akan berakibat munculnya kerusakan pada yang pertama.
Dalam kedua sisi, eksistensi jamaah diperlukan. Berjamaah dalam pengertian yang pertama yakni dalam dien adalah kebenaran dan ketepatan. Mengadakan sesuatu yang baru dalam hal ini adalah bentuk kebatilan, kesalahan, dan kesesatan. Demikian pula halnya dengan berkumpul secara fisik. Ia adalah kebenaran dan ketepatan. Menyelisihinya adalah bentuk perpecahan, kebatilan, dan kesesatan.
Salaf Menjaga Keseimbangan
Menjaga keseimbangan antara sisi pertama dan kedua jamaah adalah jalan yang telah ditempuh oleh para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in, dan para ahli ilmu. Mereka berusaha menjaga diri, keluarga dan orang-orang Islam yang ada di sekitar mereka agar menjaga keseimbangan kedua sisi jamaah ini. Mereka mengerti bahwa tidak menjaga keseimbangan dalam hal ini adalah bentuk tidak menjaga amanat dan tidak meneladani jalan hidup para pendahulu mereka yang shalih.
Sejarah mencatat, sehubungan dengan menjaga keseimbangan kedua sisi jamaah ini kaum muslimin terkelompokkan menjadi tiga:
Pertama, mereka yang lebih mendahulukan sisi ilmu, manhaj, atau konstitusi. Mereka kurang mengindahkan sisi berkumpul secara fisik. Melihat kesalahan atau kemungkaran membuat mereka meninggalkan orang-orang yang melakukannya. Belakangan para ulama mengidentifikasi mereka sebagai orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah. Atas nama berpihak kepada kebenaran kedua firqah ini memerangi pemerintahan yang sah secara syar’i, padahal—jika mereka tahu—secara ilmu dan manhaj pun Rasulullah sudah menjelaskan sikap yang benar dalam hal itu. Yakni tetap taat pada perkara yang bukan berupa kemaksiatan kepada Allah.
Kedua, mereka yang lebih menjaga sisi fisik sehingga mereka meninggalkan amar makruf nahyi mungkar, bahkan terhadap kemusyrikan dan kebid’ahan yang menafikan esensi dua kalimat syahadat.
Ketiga, mereka yang memadukan keduanya dengan sekali waktu menarik-mengulur demi menjaga keseimbangan di dalamnya. Mereka mengajak bersatu berjamaah dalam komitmen kepada dien, dan dalam waktu bersamaan mereka mengajak untuk bersatu berjamaah secara fisik. Semua itu dilakukan dengan menyebarkan ilmu, dakwah, nasihat, dan amar makruf nahyi mungkar, dan berbagai metode syar’i lainnya. Dengan penuh hikmah mereka menjalaninya. Mereka mempertimbangkan situasi kondisi dan perkara-perkara yang memang semestinya dipertimbangkan. Mereka adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Pingback: Turun Ke Langit Dunia Di Akhir Malam Yang Sepertiga - arrisalah