Menjadi Makmum Pendosa & Menyalatinya
(77) Kami berpendapat, bermakmum di belakang Ahli Kiblat yang bajik atau durjana adalah sah; dan kami tetap menyalati orang yang meninggal dunia di antara mereka.
Pada hari ‘Utsman bin ‘Affan radiyallahu ‘anhu dikepung oleh para pendosa, beliau tidak diperkenankan pergi ke masjid untuk mengimami shalat. Seseorang dari para pendosalah yang akhirnya maju menjadi imam menggantikan posisi khalifah. Kepada sang khalifah, seseorang berkata, “Anda adalah imam ‘ammah (imam kaum muslimin), sedangkan orang itu adalah imam fitnah!” ‘Utsman menimpali, “Wahai keponakanku, sesungguhnya shalat adalah amalan terbaik yang dilakukan oleh manusia. Jika mereka berbuat baik, berbuat baiklah bersama mereka, sedang jika mereka berbuat buruk, jauhilah perbuatan buruk mereka.”
Berimamkan Pendosa
Menurut Ahlussunnah wal-Jamaah, setiap muslim tidak boleh meninggalkan shalat Jum’at dan Jamaah lantaran imamnya seorang ahli bid’ah atau pendosa besar. Hal ini telah dipraktikkan oleh para Salaf, seperti Ibnu ‘Umar yang tetap bermakmum kepada Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi—yang pernah menghalalkan Madinah selama tiga hari dan membunuh ribuan kaum muslimin, termasuk membunuh sahabat ‘Abdullah bin Zubair. Demikian pula Anas bin Malik.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Mereka (para imam itu) mengerjakan shalat untuk kalian (menjadi imam). Jika mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahalanya. Jika mereka keliru, kalian mendapatkan pahalanya dan mereka mendapatkan dosanya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari)
Boleh bagi seorang muslim mengerjakan shalat di belakang seseorang yang belum diketahui kebid’ahan dan kefasikannya, menurut kesepakatan para imam madzhab. Menjadi makmum tidak bersyarat mengetahui akidah imamnya atau mengujinya dengan mengatakan, “Apa akidahmu?” boleh mengerjakan shalat di belakang orang yang keadaannya masih belum diketahui. Jika seseorang mengerjakan shalat di belakang ahli bid’ah yang menyeru kepada kebid’ahannya atau orang fasik yang kefasikannya nyata, padahal ia adalah imam rawatib sehingga tidak mungkin baginya mengerjakan shalat Jamaah, Jumat, ‘Idul Fithri, ‘Idul Adhha, dan shalat di ‘Arafah tanpa shalat di belakangnya, maka itulah yang harus dilakukan, menurut para ulama Salaf.
Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jumat dan Jamaah di belakang imam yang pendosa, justeru dialah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) menurut kebanyakan ulama. Sebab, para sahabat tetap mengerjakan shalat di belakang imam yang pendosa dan mereka tidak mengulangnya. Adalah Abdullah bin Mas’ud dan sahabat lain yang mengerjakan shalat di belakang Walid bin ‘Uqbah bin Abu Mu’ith yang meminum arak. Suatu hari ia mengimami shalat Shubuh empat rekaat. Ketika ada yang menegur, dia malah berkata, “Apa mau saya tambah?” Ibnu Mas’ud berkata, “Sejak hari ini kami akan tetap bersamamu meski kamu tambah.”
Shalat seorang fasik dan ahli bid’ah pada asalahnya adalah sah. jika seseorang bermakmum kepadanya, shalat si makmum tidaklah batal, hanyasaja sebagian ulama memakruhkannya dikarenakan amar makruf nahyi munkar wajib.
Sebenarnya, mengangkat seorang pendosa sebagai imam tidak dibolehkan. Namun, jika sudah terlanjur dan tidak mungkin dicopot—akan menimbukan gejolak/perpecahan/mudharat yang lebih besar—tidak mengapa. Mencegah sedikit kerusakan tidak boleh membiarkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Tidak boleh juga mencegah terjadinya mudarat yang ringan dengan menimbulkan mudarat yang lebih besar. Seluruh syariat ini datang untuk mewujudkan maslahat dan menyempurnakannya serta menihilkan mafsadat dan meminimalisirnya, sebisa mungkin. Meninggalkan shalat Jumat dan shalat Jamaah lebih besar bahayanya daripada bermakmum kepada imam fajir; apalagi jika tidak berangkat ke masjid tidak membawa faidah ternihilkan atau terminimalisirnya mudarat. Yang dilakukan tidak mendatangkan maslahat syar’i sama sekali.
Sedangkan jika dimungkinkan melaksanakan shalat Jumat dan jamaah di belakang orang yang baik, maka itu lebih baik daripada mengerjakan di belakang orang fajir. Pada saat itu, jika seseorang mengerjakan shalat di belakang pendosa tanpa udzur, maka ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian mereka berpendapat, harus diulang dan sebagian yang lain berpendapat tidak perlu mengulang.
Diriwayatkan dari Abu Yusuf, ketika ia menunaikan haji bersama Harun ar-Rasyid, khalifah berbekam. Imam Malik memfatwakan, Harun ar-Rasyid tidak perlu berwudhu karena menurut pendapat Imam Malik, bekam tidak membatalkan wudhu. Harun ar-Rasyid pun mengimami shalat kaum muslimin. Seseorang bertanya kepada Abu Yusuf, “Anda shalat di belakangnya?” Abu Yusuf menjawab, “Subhanallah! Beliau Amirul Mukminin.”
Dalam pandangan Abu Yusuf, meninggalkan shalat di belakang ulil amri adalah perbuatan ahli bid’ah. Belum lagi hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di atas menunjukkan secara gamblang bahwa jika imam berbuat salah, maka ia sendiri yang menanggungnya, tidak menjadi tanggungan makmum.
Menyalati Jenazah Ahli Kiblat
Maksud ungkapan “kami tetap menyalati orang yang meninggal dunia di antara mereka” adalah bahwa menurut Ahlussunnah, menyalati orang-orang yang baik dan juga pendosa di antara Ahli Kiblat adalah suatu kewajiban. Dikecualikan dari mereka: para pemberontak, perampok, orang yang bunuh diri (Abu Yusuf berpendapat lain), dan orang-orang yang syahid (Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i berpendapat lain). Abu Jakfar ath-Thahawi mencantumkan ini dengan maksud menjelaskan bahwa hukum asal orang-orang yang berdosa itu masih harus (baca: fardhu kifayah) untuk dishalati.
Menyalati Jenazah Munafik
Orang-orang yang menampakkan keislaman ada dua: mukmin dan munafik. Orang yang kemunafikannya diketahui tidak boleh dishalati dan dimohonkan ampunan. Sedangkan orang yang kemunafikannya belum diketahui, tetap harus dishalati. Apabila seseorang melihat kemunafikan orang lain, ia tidak boleh menyalatinya. Orang-orang yang belum mengetahuinya, boleh menyalatinya. Umar bin khattab radiyallahu ‘anhu tidak menyalati orang-orang yang tidak dishalati oleh Hudzaifah. Karena pada perang Tabuk Hudzaifah mengetahui siapa saja orang-orang munafik madinah—diberitahu oleh Rasulullah saw. Allah telah melarang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyalati dan memohonkan ampunan bagi orang-orang munafik. Allah menerangkan alasannya: karena kekafiran mereka kepada Allah dan Rasu-Nya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasulullah, menyalatinya tidak dilarang, walaupun dia melakukan berbagai dosa, baik dosa-dosa bid’ah maupun tindakan kriminal. Yang ada justeru Allah memerintahkan agar memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman. Allah berfirman,
“Ketahuilah bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah, mintalah ampunan untuk dosamu dan untuk orang-orang yang beriman;laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kita untuk bertauhid, lalu memohon ampunan, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang-orang beriman lainnya. Tauhid adalah prinsip din, sedangkan memohon ampunan untuk diri dan orang lain adalah penyempurnanya.
Mendoakan orang-orang yang beriman supaya mendapatkan ampunan, rahmat, dan segala kebaikan lainnya, ada yang wajib dan ada yang sunnah; ada yang umum—seperti yang diperintahkan dalam ayat ini, dan ada yang khusus—yakni menyalati orang yang meninggal dunia. Setiap ada orang beriman yang meninggal dunia, orang-orang beriman lainnya diperintahkan untuk menyalati jenazahnya. Dalam shalat itu, mereka diperintahkan untuk mendoakannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian mengerjakan shalat jenazah, hendaklah kamu memurnikan doa untuknya.”
Wallahu a’lam.
sungguh begitu susah hari ini untuk membedakan orang mukhlis dan munafik
semoga Allah ta’ala menjadikan kita termasuk hambanya yang husnul khotimah
Pingback: Majalah Islam Arrisalah|Majalah Muslim Arrisalah