Hukum Bank ASI
Beberapa waktu yang lalu, seorang reporter dari sebuah majalah wanita Islam meminta wawancara dengan penulis terkait dengan hukum Bank ASI. Diantara pertanyaan yang diajukan adalah kejadian yang menimpa salah seorang muslimah yang kebetulan melahirkan di salah satu rumah sakit Kristen di Jakarta.Karena beberapa sebab, air susu ibu tersebut tidak keluar dan tidak bisa menyusui bayinya. Akhirnya bayi tersebut minum dari ASI yang disediakan rumah sakit itu, bagaimana hukumnya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian ar-radha’ (penyusuan) dan kapan seseorang dikatakan sebagai anak susuan atau saudara sesusuan dari orang lain?
Pengertian ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya. (Ibnu Nujaim, al Bahru ar Raiq: 3/221, Ibnu Arafah, Syarhu Hudud: 1/316, al Muthi’i, Takmilah al Majmu’: 19/309, al Bahuti, Syarhu Muntaha al Iradat: 4/ 1424)
Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَاالرَّضَاعَةُمِنْالْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR Bukhari dan Muslim)
Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata:
انَفِيمَاأُنْزِلَمِنْالْقُرْآنِعَشْرُرَضَعَاتٍمَعْلُومَاتٍيُحَرِّمْنَثُمَّنُسِخْنَبِخَمْسٍمَعْلُومَاتٍفَتُوُفِّيَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَوَهُنَّفِيمَايُقْرَأُمِنْالْقُرْآنِ
“Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim)
Kapan seorang bayi menyusui dan dianggap sebagai satu susuan? Yaitu jika dia menyusui, setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja. (Sidiq Hassan Khan, Raudhatu an Nadiyah, 2/174)
Cara Menyusu
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan caraas su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara al wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.
Adapun Madzhab Dhahiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt:
“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23)
Hukum Bank ASI
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan di atas, mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank ASI:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Salah satu alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu yang disimpan asinya di bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung. Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan hukumnya haram. Menimbang dampak buruknya menyebabkan tercampurnya nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur yang tidak membedakan antara menyusu langsung atau lewat alat. Majma’ al Fiqh al Islami (OKI) dalam Muktamar yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal1-6 Rabi’u at Tsani 1406 H memutuskan bahwa pendirian Bank ASI di negara-negara Islam tidak dibolehkan, dan seorang bayi muslim tidak boleh mengambil ASI darinya.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Kesimpulan:
Pada awalnya, dalam wawancara tersebut, penulis berpendapat bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya boleh dengan syarat-syarat yang sangat ketat, sesuai pendapat beberapa ulama di Timur Tengah yang terangkum dalam pendapat ketiga.
Namun, setelah memperhatikan madharat-madharat yang akan muncul di kemudian hari, akhirnya penulis cenderung untuk mengatakan: sebaiknya tidak usah didirikan Bank ASI selama hal tersebut tidak darurat. Diantara madharat-madharat yang akan ditimbulkan dari pendirian Bank ASI adalah:
Pertama,Terjadinya percampuran nasab, jika distribusi ASI tersebut tidak diatur ini secara ketat. Kedua, Pendirian Bank ASI memerlukan biaya yang sangat besar, terlalu berat ditanggung oleh negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Ketiga, ASI yang disimpan dalam Bank, berpotensi untuk terkena virus dan bakteri. Kuaalitas ASI juga bisa menurun drastis, jika dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap bayi dari ibunya. Keempat, kekhawatiran munculnya fenomena mengkomersilkan ASI dengan harga tinggi sebagai ganti susu formula. Kelima, Ibu-ibu wanita karir yang super, akan semakin malas menyusui anak-anak mereka, karena bisa membeli ASI dari Bank dengan harga berapapun. Wallahu A’lam. (Dr. Ahmad Zain An Najah, MA)
Kramat Raya, Jakarta Pusat,24 Dzulhijjah 1431 H / 1 Desember 2010 M