Serbuan Virus Materialisme
Acara mentoring di masjid kampus itu sudah usai. Seorang peserta yang tadinya tekun mendengarkan mendekat kepada sang Ustadz. “Ustadz,…boleh berkonsultasi sebentar?” tanyanya. “Boleh,…silahkan!” jawabnya sambil menatap sekilas pemuda yang dikenal aktif mengikuti acara mentoring di masjid kampus tersebut.
“Begini Ustadz,…saya ini sambil menyelesaikan tugas akhir, alhamdulillah, sudah sambil bekerja”. Sang mentor menatapnya tanpa berkomentar, menunggu kelanjutan kalimatnya. “Saya merasa sudah saatnya untuk menikah, agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa”. “Wah,itu niat yang bagus, lha calon yang diinginkan seperti apa kriterianya?” tanya sang mentor. Dengan ekspresi menaruh harap pemuda itu berkata, “Tolong carikan saya calon istri yang seperti ‘fulanah’ (pemuda itu menyebut artis glamour papan atas yang selalu memamerkan belahan dada dan pusar yang ditindik)”. Mendengar penuturan itu sang mentor terdiam dan memerah wajahnya.
Penyucian Jiwa
Sesungguhnya, fragmen yang diangkat dari kisah nyata tersebut merupakan gambar kegagalan tarbiyah menyucikan jiwa manusia. Karena hidayah memang bukan diberikan sang murabbi, bahkan Nabi sekalipun. Tapi yang pasti, penyebabnya Hal itu dikarenakan pengajaran Islam ini memang tidak akan efektif mengubah pikiran, perasaan dan perilaku manusia tatkala penyucian jiwa ini gagal. Mari kita simak firman-Nya :
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikanmu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah 151)
Ayat yang menyebut substansi seperti itu, dengan redaksi yang berbeda termaktub pula di surat Al-Baqarah 129, Ali ‘Imran 164 dan Al-Jumu’ah 2. Allah Ta’aalaa konsisten menyebut pentingnya penyucian jiwa sebelum pengajaran Al-Qur-aan dan As-Sunnah dilaksanakan. Ibarat menyemai benih, lahan mesti dibersihkan dari berbagai faktor yang dapat mengganggu dan merusakkan pertumbuhannya. Jika penyucian jiwa ini gagal, sementara pengajaran Islam tetap dipaksakan, dikhawatirkan hadir generasi yang secara zhahir mengamalkan sebagian dari syari’at dan syi’ar Islam, namun sejatinya pola pikir dan perasaannya tidak mencerminkan Islam. Pada suatu kondisi, performa seperti itu dapat memfitnah dan mencitra burukkan Islam. Orang banyak akan bilang, “Katanya Islam, kok kelakuannya seperti itu!”
Ta’jub Kepada Materi Duniawi dan Simbol-simbolnya
Jika diumpamakan virus, materialisme menyebar melintasi sekat-sekat kelompok dan faham yang secara dhahir diakui dianut oleh manusia. Materialisme tidak peduli menjangkiti penganut paham sosialisme yang seharusnya bertentangan dengan dasar pahamnya. Atau para pendeta, uskup dan rahib. Atau para pemimpin sufi yang menyangka dirinya zuhud kepada dunia. Tak terkecuali para pemuda yang mendambakan dirinya menjadi pilar kebangkitan Islam masa depan. Penetrasi paham ini begitu mudah dan massif lantaran menyentuh kecenderungan dasar manusia yang memang paling mudah untuk dibangkitkan.
Jika Qorun matrialistik, orang dapat dengan mudah menerima kenyataan itu karena dia memang bergelimang harta. Yang aneh, ada kelompok manusia lain yang nasibnya tidak seperti Qorun, tetapi himmah-nya seperti dia. Orang-orang miskin yang cinta dunia, tetapi cintanya tidak kesampaian. Allah mengabadikannya di dalam Al-Qur-aan untuk menjadi i’tibar bagi manusia sesudahnya.
Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia. ‘Duhai sekiranya kita memiliki seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. [Al-Qashash : 79]
Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘AbdulLah al-Fauzan dalam Kitabut-Tauhid menjelaskan keadaan orang-orang yang menginginkan dirinya seperti Qorun, “Mereka mengangan-angankan dan menginginkan memiliki kekayaan seperti Qarun seraya menyifatinya telah mendapatkan keberuntungan yang besar, yakni berdasarkan pandangan mereka yang materialistis”.
Manusia pada umumnya beranggapan jika seseorang mengenakan baju koko, memakai songkok atau kopiah, apalagi putih, terlebih jika mengenakan jubah, tentu orang tersebut seorang muslim. Bahkan mungkin aktivis. Hal itu tentu tidak perlu dipersoalkan, atau digugat. Yang menjadi persoalan ketika pemuda muslim dengan tampilan harian seperti itu sementara himmah-nya menikahi perempuan seperti artis glamour yang tatkala tampil selalu meng-ekploitasi tubuhnya sebagai komoditas, ini mencengangkan. Tak heran jika sang mentor terdiam karena mendapat surprise.
Tampilan ke-Islam-an periferal yang diperagakan, bahkan rutinitas ibadah harian yang dilakukan tidak mewakili suasana fikiran dan perasaannya yang belum mampu mengusir ruh matrialisme yang bercokol di lubuk hati. Cetusan lisan yang keluar merupakan duta fikiran dan hati yang sejati.
Mungkin pemuda tersebut belum tahu bahwa performa aktif, energik dan atraktif yang diperagakan artis idolanya itu menyatu dengan ruh kekufuran dan materialisme yang bersemayam di dalam kalbunya. Bahkan tampilan fisik luar yang cenderung meng-eksploitasi selera rendah tersebut tidak lebih berbahaya dibandingkan ruh kekufuran yang di dalam hati. Pasalnya, performa membangkitkan libido itu dapat berubah drastis menampilkan cerminan ketaqwaan tatkala hati ter-shibghah keimanan. Sejarah mencatat betapa ugal-ugalannya orang-orang Quraisy Makkah ketika menampilkan kejahiliyahan, tetapi ketika hidayah keimanan telah mewarnai hati tiba-tiba mereka menjadi manusia pilihan yang mengguncangkan dunia.
Hakekat Kemenangan Islam
Kemenangan Islam tidak ditandai dengan penguasaan ummatnya terhadap materi dunia dan kepemilikan mereka terhadap simbol-simbol kekayaan tersebut. Islam memang tidak melarang ummatnya untuk menguasai kekayaan duniawi sepanjang tetap menunaikan hak-haknya secara benar dan proporsional. Adapun hakekat kemenangan Islam menurut Abu Hasan Ali Al-Hasani An-Nadawi rahimahulLaah justru terletak pada kemampuan mengatasi kecenderungan dan pengaruh kecintaan terhadap harta duniawi tersebut, ketika kunci-kunci perbendaharaan itu ada di tangan ummat Islam, dan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk menyebarkan hidayah. Demikian paparan ulama kharismatik tersebut di dalam tulisannya Ilal-Islaami min Jadiid.
Pingback: Virus, Hikmah dibalik Ketidaksempurnaan - arrisalah